Lombokdaily.net -Dana Pokir siluman di Nusa Tenggara Barat (NTB) telah terkuak dan sedang diselidiki oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB.
Kejati NTB menyelidiki dugaan korupsi dalam pengelolaan dana Pokok Pikiran (Pokir) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTB tahun anggaran 2025.
Pemeriksaan Anggota Dewan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebanyak 10 anggota DPRD NTB telah diperiksa oleh Kejati NTB terkait kasus ini, dan beberapa di antaranya telah mengembalikan uang yang diduga berasal dari alokasi dana Pokir, senilai ratusan juta rupiah.
Pengembalian Dana Siluman
Uang yang dikembalikan tersebut disebut sebagai uang “siluman” oleh Kejati NTB, yang diduga dipotong sepihak oleh Pemprov NTB dari dana Pokir anggota dewan.
Dugaan Pemotongan Dana
Seharusnya, setiap anggota dewan menerima Rp 4 miliar, namun yang diterima hanya Rp 1 miliar.
Kejati NTB terus melakukan penyelidikan dan telah memeriksa beberapa pejabat Pemerintah Provinsi NTB, termasuk Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) NTB.
Dana Pokir siluman yang diselewengkan oleh DPRD Provinsi NTB mencapai Rp182 miliar. Jumlah ini diduga diselewengkan melalui mekanisme yang tidak transparan dan berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan.
Dalam kasus ini, beberapa anggota DPRD NTB diduga menerima fee sebesar 15% dari total anggaran program yang akan didapatkan, atau sekitar Rp300 juta per orang. Dugaan penyalahgunaan wewenang dan penerimaan gratifikasi ini dapat melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Menurut informasi yang beredar di media online, pemeriksaan ini dilakukan untuk mendalami asal-usul dan prosedur penyaluran dana pokir yang dialokasikan kepada anggota DPRD NTB, khususnya kepada anggota baru hasil Pemilu 2024. Dana tersebut sebelumnya dialokasikan untuk anggota dewan lama, namun diduga dialihkan secara tidak transparan setelah pergantian keanggotaan. Penulis mencoba mendalami potensi pelanggaran peraturan yang terjadi pada anggaran Pokir DPRD NTB yang oleh publik disebut sebagai Dana Siluman ini yaitu : terjadinya Penyusupan Anggaran di Luar Prosedur. Jika dana pokir sebesar Rp182 miliar dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan belanja daerah (APBD) tanpa melalui tahapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), atau input Sistim Informasi Pemerintah Daerah (SIPD), maka ini bisa dikategorikan sebagai bentuk penyusupan anggaran, yang melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 86 Tahun 2017 tentang tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan evaluasi Daerah.
Potensi Penyalahgunaan Wewenang juga akan terjadi dalam Kasus Dana Siliman ini.
Apabila terbukti ada intervensi anggota dewan atau pejabat eksekutif untuk mengubah alokasi anggaran demi kepentingan pribadi atau kelompok, hal ini berpotensi melanggar Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
Selanjutnya Penerimaan Fee/Gratifikasi yang diisukan terjadi, juga akan berdampak kepada konsekuensi hukum. Adanya dugaan pemberian jatah fee kepada anggota dewan baru sebesar 15% dari nilai pokir (sekitar Rp300 juta per orang) dapat dikualifikasikan sebagai gratifikasi atau suap. Ini merupakan pelanggaran Pasal 12B dan Pasal 11 Undang-Undang Tipikor, yang mengatur bahwa setiap penyelenggara negara dilarang menerima hadiah atau janji dalam kaitan dengan jabatan.
Kasus ini masih dalam proses penyelidikan dan diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang penggunaan dana Pokir di NTB.|®|
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi
Sumber Berita : Lombokdaily.net