Lombokdaily.net -Polemik Lahan Taman Wisata Alam (TWA) desa Gunung Prabu Kecamatan Pujut Lombok Tengah Terus Berlanjut. bahkan dugaan Kuat Pihak pemerintah dan Oknum Pejabat diduga Terlibat dalam Meloloskan Para penguasa yang menguasai Lahan Ratusan Hektar Tersebut. Pemerintah Rupanya Bersembunyi lantaran Kebijakan mereka tidak berpihak pada masyarakat melainkan pada Oknum Pemodal berkedok ingin memajukan Daerah Namun Sebaliknya Meraup Keuntungan demi Isi kantong pribadi dan keuntungan Investor atau orang Asing. Berbicara Investasi, apa Dampaknya? ujung Ujung Masyarakat Kecil jadi Korban. Hak hak Mereka terkikis di tanah kelahirannya Sendiri.
Para Pejabat dan Oknum Oknum bermodal Diduga Mereka tidak mau disalahkan atas perbuatannya dalam persolan tersebut. Ketua Komisi II DPRD Lalu Muhammad Akhyar sudah turun tangan dalam Hal tersebut. Pada Hearing belum lama ini PT PAL Tidak hadir di DPRD Loteng.
Kronologi Lahan Milik warga Desa Ketare dan Desa Prabu
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lahan seluas 450 hektaran tersebut merupakan tanah adat yang telah didiami dan digarap sejak zaman kolonial Belanda. Warga setempat memiliki bukti kepemilikan seperti Surat Pajak Tahunan dan sertifikat, namun PT Prabu Alam Lestari (PT PAL ) diduga telah merampas tanah tersebut secara sepihak.
Dugaan Kuat Warga Ada Mafia Tanah di Lahan tersebut. EKSEKUTIF, Legislatif bahkan Yudikatif Harus Hadir dalam polemik itu. Jika ingin melihat Lombok Tengah Aman dan Damai. Jika pemerintah provinsi dan pemda Lombok Tengah tidak duduk Bareng maka akan terjadi Hal hal yang memancing polemik semakin panjang antara PT PAL dengan Puluhan Masyarakat Dua Desa.
Kronologi Sengketa Lahan
Pada Tahun 1997, Pemdes Prabu dipaksa melepas tanah adat sebagai hutan lindung dan ditukar guling dengan lahan di Sekotong Lombok Barat. Pada Tahun 2009, Kementerian Kehutanan menetapkan lahan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan SK Menteri Kehutanan nomor 598 tahun 2009.
Pada Tahun 2022, Pihak BKSDA memasang plank yang menyatakan lahan tersebut berstatus TWA tanpa koordinasi dengan warga dan pemerintah desa setempat.
Posisi Warga dan Pemerintah
Warga Dua Desa Yakni Desa Prabu dan Ketare mengancam akan menggelar aksi besar besaran ke Kantor LHK Provinsi NTB dan BKSDA bahkan Akan mengadu ke Presiden RI Prabowo Subianto. Kendati Pihak PT PAL BARU diduga belum Kantongi Ijin Lingkungan Dari Dinas Lingkungan (DLH). PT PAL BARU Sudah Mulai Beraktivitas di Kawasan Tersebut, termasuk Membuat Jalan. Sejumlah Alat Berat Sudah nampak Beraktivitas. Pemilik Lahan Lalu Buntaran dan Nasrudin, Aktivis Bajang Eko Meminta PT PAL BARU Untuk berhenti Melakukan Aktifitas sebelum Izin Lingkungan Diberikan oleh DLH. Hingga kini Pihak DLH dan BKSDA Belum ada tanggapan terkait Status TWA, yang memicu protes warga.
Pengawas DLH Kabupaten Loteng Munawir menyatakan Akan segera koordinasi dengan pihak PT PAL guna klarifikasi Terkait Keberadaan PT PAL Yang BARU Yang Beraktivitas di Kawasan Gunung Prabu, Namun dirinya tidak berani berkomentar lantaran pihaknya belum klarifikasi ke BKSDA ” Kita belum berani mengambil Kesimpulan silahkan saja ke Atasan saya. Kalau ada Informasi mau digali di DLH Silak langsung ke pak Kadis enggih.Tiang hanya pengawas/penyidik lingkungan.” Ujarnya.
Sementara itu Lalu Buntaran bersama Nasrudin, Aktivis Bajang Eko meminta kepada PT PAL Baru agar aktivitas atau pekerjaan di Gunung Prabu segera dihentikan. Ia menduga bahwa Ada Permainan Mafia Tanah Diatas Lahan Milik Warga. Yang Diklaim Masuk TWA, Lalu Diberikan Kepada PT Prabu Alam Lestari.
Masyarakat dari Dua Desa yakni Desa Prabu dan Desa Ketare mulai angkat suara terkait dengan pemberian Izin Usaha Pengelolaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) diatas lahan seluas 50 hektar yang ada di kawasan Gunung Prabu, Desa Prabu Loteng oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI) kepada PT. Prabu Alam Lestari (PT. PAL).”Lahan milik warga seluas 50 hektar di kawasan Gunung Prabu itu bukan kawasan Taman Wisata Alam (TWA), melainkan itu lahan warga, warisan dari nenek moyang kami dan yang dikuasai secara turun temurun. Kok bisanya lahan warga di klaim masuk kedalam Kawasan TWA, sejak kapan dan apa dasar Kementerian LHK dan BKSDA mengklaim lahan warga sebagai TWA. Parahnya lagi, setelah diklaim masuk TWA, lahan warga seluas 50 hektar itu diberikan izin pengelolaan kepada PT. PAL,” Terang Lalu Buntaran Dengan Nada Heran.
Mantan Kepala Desa (Kades) Ketare itu dan Bajang Eko menyebutkan, ada dugaan tindak pidana pemalsuan surat atau dokumen yang terjadi saat proses pemindahan status lahan warga seluas 50 hektar di Gunung Prabu menjadi kawasan TWA. Bahkan kami punya bukti Baru bahwa Kawasan Tersebut sudah dibatalkan Sertifikatnya oleh Kantor Pertanahan (Kantah) Loteng. ”Kami punya bukti, nanti kita akan buka di Komisi II DPRD Loteng, sehingga status Lahan 50 Hektar tersebut terang benderang.” Jelasnya.
Lanjutnya, Untuk itu Aparat Penegak Hukum (APH), Kepolisian, Kejaksaan dan Kementerian LHK harus terlibat dalam polemik tersebut.” Ucap Lalu.Buntaran dan Bajang Eko.
Warga dari Dua Desa, kata Lalu Buntaran, dalam waktu dekat akan melakukan aksi demo ke LHK Provinsi NTB dan BKSDA, untuk menuntut LHK dan BKSDA mengembalikan lahan seluas 50 hektar kepada warga yang diklaim masuk kedalam TWA yang pengelolaannya diberikan kepada PT. PAL tersebut.” Kami dari dua desa akan melakukan aksi Demo ke LHK dan BKSDA. Kembalikan lahan kami, dan kami minta segala bentuk perizinan PT. PAL dicabut dan kami sepakat usir PT. PAL atau PT. PT lain yang mau merampas lahan kami yang ada di Kawasan Gunung Prabu. Kami siap pertaruhkan nyawa demi mempertahankan hak hak kami,” tegasnya lagi
Buntaran menduga, ada permainan Mafia Lahan dalam proses pemindahan status lahan warga menjadi Kawasan TWA dan pemberian izin pengelolaan kepada PT. PAL.” Setelah izin diberikan, lahan warga bukannya dikelola sesuai dengan izin pengelolaan, melainkan di jual ke pihak Investor Asing. Dan sebagian lahan itu sudah ada yang laku terjual.”katanya.
Diduga Sebagian Lahan Sudah Terjual ke Investor Asing
Sebagai Pembina Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Republik Indonesia (GMPRI) Lombok Tengah, Lalu Eko Mihardi meminta kepada Kemen LHK RI untuk segera mencabut izin PT. PAL dan mengevaluasi pengelolaan semua kawasan TWA yang ada di wilayah Kabupaten Lombok Tengah.” IUPSWA yang dimiliki PT PAL seharusnya sudah dicabut oleh Kementerian LHK RI, karenakan dari tahun 2016 sejak mendapatkan IUPSWA hingga tahun 2025 PT PAL tidak menjalani pernyataan komitmen dan persyaratan teknis sesuai dengan peraturan Kemen LHK RI Nomor P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 tentang Pengusahaan wisata Alam di suaka margasatwa taman Nasional,taman hutan raya, dan taman wisata Alam. Untuk itu, GMPRI meminta kepada Kemen LHK RI untuk segera mencabut segala bentuk perizinan PT. PAL,” pintanya.
Kata dia, Kemen LHK RI telah melakukan evaluasi izin konsesi hutan PT PAL pada tahun 2022 yang dituangkan dalam keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan RI No SK.01./MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 Tentang pencabutan izin konsesi Kawasan hutan.” Namun fakta yang terjadi dilapangan, sampai dengan saat ini PT. PAL masih bebas melakukan aktivitas diatas lahan seluas 50 hektar itu, bahkan diduga ada sebagian lahan yang sudah dijual ke Investor Asing. Dan pihak yang melakukan aktivitas itu mengaku telah membeli saham PT. PAL dan menamakan diri sebagai PT. PAL BARU,” sebutnya
Selain itu, Bajang Eko juga menyoroti Nomor induk Berusaha atau NIB yang dimiliki PT PAL yang terbit tanggal 4 Agustus 2025, dimana sub bidang usaha perizinan tunggal adalah restoran dan selain perizinan tunggal ada juga usaha Villa serta usaha kehutanan lainnya.”Tentunya harus menjadi atensi Kementerian LHK RI, karena izin awal PT PAL di lahan milik masyarakat setempat seluas 50 hektar itu adalah IUPSWA bukan membangun Restoran,Villa, apalagi usaha di bidang kehutanan lainnya yang bisa merusak ekosistem dan cagar alam keindahan gunung Prabu yg di jaga oleh masyarakat setempat secara turun temurun,” tuturnya
GMPRI juga meminta kepada kementerian LHK RI untuk turun langsung ke NTB, khususnya ke Kabupaten Lombok Tengah untuk melakukan evaluasi ke TWA yang berada di seluruh wilayah Lombok Tengah, serta mengaudit jajaran LHK dan BKSDA NTB.”Kemen LHK harus turun dan melakukan audit. Sebab, kami menduga banyak TWA yang berada di wilayah Lombok Tengah dimiliki oleh korporasi orang luar Negeri dalam bentuk SHM. GMPRI siap berkolaborasi langsung dengan Kementerian LHK RI untuk sama sama kita turun ke lokasi TWA yang ada di Lombok Tengah.
Terkait dengan jual beli saham PT PAL, Bajang Eko menjelaskan, di data OSS, izin IUPSWA masih nama orang orang lama yang memiliki saham sampai saat ini. Bajang Eko juga menanggapi statement dari Kuasa Hukum PT PAL yang mengatakan di media bahwa telah membebaskan atau memberikan tali asih diatas lahan seluas 20 hektar, padahal aturannya lokasi TWA yang telah memiliki izin IUPSWA hanya bisa dikelola paling banyak 10 persen.” Artinya lokasi tersebut hanya bisa dimanfaatkan paling banyak 5 hektar saja. Dan tidak boleh ada izin lain selain izin IUPSWA di TWA Gunung Prabu, walau ada oknum yang mengaku memiliki saham sekarang memiliki izin lain, tidak boleh ada kegiatan selain izin yang diberikan Kementerian LHK RI, Karena izin tersebut melekat pada Perusahaan bukan pada perorangan,” ujarnya.
Sementara itu Para Pihak PT PAL belum bisa dihubungi media karena No Kontak mereka susah ditemui.|®|
Penulis : Rossi
Editor : Redaksi
Sumber Berita : Lombokdaily.net